Monday, December 10, 2007

PEMBAJAKAN FILM DI CHINA

dari artikel "Mapping Film Piracy in China" oleh Shujen Wang dan Jonathan JH Zhu (2006)


Visualitas tidak hanya terbatas pada karya-karya seni saja, namun benda-benda yang kita temui adalah juga visualitas. Sehingga melihat fenomena film bajakan menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan dan diperbincangkan. Ia ada dalam lingkungan kita. Ia sangat kompleks untuk dimaknai. Bila hanya dibenturkan dengan produk-produk Undang-Undang, maka perbincangan sudah selesai sampai pada pasal kesatu. Sama seperti kehadiran komunitas punk, ska, generasi bunga dan yang lain, pembajakan film menjadi visualitas yang kita temui. Mengapa China? disamping ia masih masuk peringkat atas bersama Rusia dalam hal bajak membajak, ada hal yang menarik untuk dikaji secara budaya maupun politik.


Dalam perspektif globalisasi, film import yang masuk di China dipandang sebagai produk politik, ekonomi, militer dan invasi budaya Barat disamping juga sebagai bentuk perwujudan brand kolonial yang coba ditancapkan ke negara lain untuk dikendalikan secara kultural.
Itulah sebabnya Partai Komunis yang berkuasa di Cina melakukan usaha untuk menasionalisasi industri film. Setelah Revolusi Komunis 1949, Cina membangun sistem perfilman dalam negeri dan melarang film Amerika beredar tahun 1950. Proteksi terhadap industri film menjadi prioritas utama dalam kebijakan budaya di China. Baru tahun 1994 China mengijinkan film Amerika masuk.

Pembajakan film di China adalah bagian dari sistem regulasi dan distribusi atas produk film Hollywood. Di bawah State Administration of Radio, Film and Television (SARFT), distribusi film bioskop menggunakan monopoli pemerintah melalui China Film Corp. Setelah China masuk organisasi perdagangan dunia (WTO) 2001, China Film kemudian tidak lagi melakukan monopoli distribusi film, karena salah satu syaratnya adalah melakukan penawaran terbuka terhadap distributor domestik.


Home Video (VCD dan DVD) masuk China di bawah kontrol Kementrian Kebudayaan. Sejak 1997, China mengimport video Amerika. Sebagai medium yang baru dalam format home video, prosedur dan regulasi untuk masuk dalam distribusi domestik dirasa sangat longgar. Antara tahun 1997 sampai 2000, Kementrian Kebudayaan mengimport lebih dari 800 judul (kira-kira 200 judul per tahun) dan bandingkan dengan film bioskop yang hanya rilis 10 judul per tahun. Hal tersebut memicu perilaku konsumen yang membajak. Saat diberi pilihan untuk menyewa atau membeli bajakan, konsumen lebih memilih untuk membeli bajakan, karena lebih murah dalam hal kepemilikan produk film.


Atas konsekuensi China masuk dalam organisasi dunia seiring kebijakan pintu terbuka Deng Xiaoping, secara otomatis Cina pun mengadopsi hukum hak kekayaan intelektual. China pun akhirnya juga mengalami tekanan dari tiga organisasi dunia, yaitu:
- World Intellectual Property Organization (WIPO)
- World Trade Organization (WTO)
- Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS)
Bahkan sanksi terhadap China diberlakukan dengan memberi label “Priority Watch List” dan “Watch List”. (Indonesia pernah diberi label “Priority Watch List” namun pada tahun 2006 turun menjadi “Watch List”).


Dibandingkan dengan skala dan nilai bisnis ilegal ini, upaya yang dilakukan Pemerintah China untuk membasmi aktivitas pembajakan terkesan hanya basa-basi. Di depan hidung aparat dan pejabat pemerintah, kegiatan itu terus berlangsung setiap hari dan semakin intensif dan agresif. Tekanan internasional (termasuk sanksi masif dari AS lewat Special 301 US Trade Act) pun ibaratnya hanya angin lalu. Menurut Business Software Alliance (BSA), 98 persen produk perangkat lunak AS yang dijual di China merupakan produk bajakan. Bukan hanya perangkat lunak, kosmetik, peralatan kesehatan, obat-obatan, desain mesin, dan model mobil pun dipalsukan.


Menurut data International Intellectual Property Alliance (IIPA), sekitar 85%-95% dari DVD yang beredar di pasar China merupakan produk bajakan. Kondisi itu membuat Pemerintah AS semakin gerah karena tidak ada perbaikan dari tahun ke tahun, padahal China sudah berulang kali diminta memperbaiki sistem dan penegakan hukum hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Gugatan tersebut merupakan langkah konkret dari pemerintah AS untuk menekan China supaya negara tersebut memberikan perlindungan hukum yang memadai dan menghormati hak cipta milik industri AS yang beredar di pasar China.
Sikap tegas AS itu tampaknya didasari kenyataan bahwa China mencatat surplus perdagangan dalam jumlah besar mencapai US$232,5 miliar pada tahun 2005. Pemerintah AS memang mengaitkan isu HaKI dengan perdagangan terhadap mitra dagangnya di seluruh dunia, mengingat peranan industri berbasis hak cipta itu cukup besar terhadap pertumbuhan GDP negara itu. Pada 2002 saja, menurut data IIPA, penjualan dan ekspor industri berbasis hak cipta AS diperkirakan US$89,26 miliar, unggul dibandingkan sektor industri lain seperti kimia, otomotif, dan industri pesawat terbang. Sektor industri tersebut juga menyerap 4% dari tenaga kerja AS.
Menurut laporan tahunan IIPA, perkiraan kerugian industri berbasis hak cipta AS di seluruh dunia, termasuk di AS sendiri pada 2004 berkisar US$23 miliar-US$30 miliar. Jumlah itu belum termasuk kerugian pembajakan melalui Internet. IIPA mencatat potensi kerugian terbesar terjadi di China, yang pada 2004 mencapai US$2,507 miliar, dan setahun kemudian meningkat menjadi US$2,6 miliar.


Pembajakan dalam konteks Kajian Budaya
Dalam kasus di China, terjadi rangkaian transformasi yang diikuti oleh korporasi transnasional. Penandatanganan traktat dunia tentang hak kekayaan intelektual (IPR) berarti juga memberi legitimasi atas kemunculan korporasi trans dunia. Deformasi dari film bermedium layar lebar ke VCD/DVD berputar ke kemunculan korporat dunia semisal SONY, Philips dan beberapa yang lain untuk mempopulerkan VCD Player di Asia. Pembajakan menjadi berkah secara tak langsung bagi Negara dan konsumen, karena bagaimanapun hal tersebut juga berpengaruh bagi ekonomi regional dan global. Korporasi dunia melalui player tersebut yang tidak memungkinkan dilm bajakan bisa diputar dihadapkan juga pada realita korporasi vcd/dvd player yang dibuat oleh China yag memungkinkan dapat memutar film bajakan.


Kelonggaran pemerintah Cina merupakan bentuk dari keputusannya untuk tidak menahan laju perkembangan teknologi VCD dibaca sebagai resistensi atas segala hal yang bersifat hegemoni global. Bahkan hegemoni global (baca: Hollywood) dalam konteks pembajakan VCD/DVD telah masuk dalam wilayah standarisasi optical disc. Amerika kemudian menerapkan praktik kekuasaan untuk menekan China dengan memaksakan sanksi sebagai dampak dari hubungan bilateral Amerika-China. Kemudian pada saat yang bersamaan, China memutuskan untuk ikut WTO sebagai bagian dari permainan kekuasaan agar bisa bermain secara leluasa dan dapat memberi pengaruh dalam negosiasinya terhadap ‘persekutuan’ rezim global maupun aliansi regional. Sehingga resistensi terhadap Amerika masih berlanjut hingga kini meskipun predikat negeri tirai bambu tidak lagi melekat padanya. Inilah yang disebut melawan globalisasi melalui sistem atau bahkan menggunakan media globalisasi itu sendiri. Pembajakan di China telah memotong profit perfilman Hollywood sekaligus juga mematahkan dominasinya dalam pasar global melalui produk-produk film yang dihasilkannya.


Bagaimana dengan Indonesia yang masih jadi surga bagi pembajak? mengapa pembajakan masih berlangsung padahal ada pos polisi di sekitar area Glodok? mengapa juga masih ada pembajakan jika ada pos polisi juga di area Tunjungan Center Surabaya? jangan-jangan pemerintah menikmati pendapatannya dari sektor 'informal' tersebut sedangkan operasi pembajakan hanyalah lips service di depan traktat WTO? semoga ini menjadi resistensi bagi produk global.(obed)***

Thursday, October 4, 2007

preview pameran FGD EXPO 2007



awal mau masuk ke Jakarta Convention Center, disambut gapura FGD EXPO ^^
boothnya APP...Sinar Dunia ya???hehe...maaf kalo salah. ini tampak ketika kita baru masuk ke Hall nya ^^
yang kayak perahu itu, boothnya Paperina Dwijaya, dengan tema SAILOR.
Jadi, spgnya pada pake rok sailor, trus boothnya ada pasir-pasirnya, ada jangkar dsb ala pelaut lah pokoke... ^^


ini boothnya Subur Printing. Gambarnya kayak perahu Nuh gitu. GEDHE banget, tapi yang mau masuk ke Bahtera Nuh itu orang-orang Jakarta yang pada ngungsi karena takut banjir, hehe
oya, FGD EXPO 2007 kali ini lebih rame daripada yang sebelumnya. Tiap booth pada berlomba-lomba untuk mendekor dan menyajikan yang terbaik.
Sebenernya ada boothnya majalah Concept, yang ama kru mereka disebut sebagai ConceptLand. Cuman sayang ga sempet poto-poto disana. Buat yang penasaran, buruan beli majalah Concept *ato pinjem lah paling ga, hehe* edisi 19, tentang Urban Art, warna putih (*hoho, iki promosi ta?hehehe*)
gbu all,
sophia
yang masi tetep dari ruang dosen P lante 3

FGD EXPO 2007

FGD EXPO 2007 berlangsung tanpa ada henti tiap harinya. Bertempat di Jakarta Convention Center, acara yang berlangsung selama 4 hari ini menyedot banyak sekali pengunjung.

Dari pameran-pameran yang ada, aku baru sadar perbedaan pameran di Jakarta dan Surabaya itu adalah masalah waktu.

1.
Kalo di Surabaya pameran itu dibuka dari jam 10.00 - min.21.00...maka di Jakarta pameran kebanyakan dibuka pk 10.00 - 20.00 ato bahkan 10.00-18.00 *kalo ga salah yang pameran packaging itu ya bu ani?*

2.
Kalo di Surabaya pengunjung paling banyak itu selalu pas malem, biasanya kalo siang itu sepi bahkan sepi banget. Tapi herannya, kalo di jakarta, ga nunggu malem, bahkan siang pun tetep rame. Jadi binung, orang jakarta itu apa kalo siang ga usah kerja..kok bisa dateng ke pameran ???? hehe

3.
apa lagi ya? belon ada seh. hahaha

untuk sementara, itu aja review dari ....

sophia melaporkan dari gedung P Lt.3
gbu all ^^